tag:blogger.com,1999:blog-85443589198179132822024-02-20T16:21:43.185-08:00Karakteristik PAUDAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/15620046026184737759noreply@blogger.comBlogger1125tag:blogger.com,1999:blog-8544358919817913282.post-72939362019899203882012-06-20T17:36:00.001-07:002012-06-20T17:36:16.865-07:00<strong>Pondasi Aqidah di Usia Dini</strong>
<br />
“Mendidik anak sedari kecil adalah ibarat mengukir di atas batu.”
Sabda Nabi saw tersebut sangat tepat untuk menggambarkan pentingnya
mendidik anak sedini mungkin. Anak yang masih kecil, mendidiknya
membutuhkan kesabaran karena harus terus mengulang-ulang konsep yang
hendak ditanamkan. Namun begitu konsep tersebut sudah masuk, maka ia
akan tertancap dengan kuat di sana, sulit hilang seperti ukiran di atas
batu.<br />
Anak usia dini merupakan individu yang berbeda, unik, dan memiliki
karakteristik tersendiri sesuai dengan tahapan usianya. Masa usia dini
merupakan masa keemasan (<em>golden age</em>) dimana stimulasi seluruh
aspek perkembangan berperan penting untuk tugas perkembangan
selanjutnya. Pada masa ini pertumbuhan otak berlangsung sangat pesat
(eksplosif). Perkembangan pada tahun-tahun pertama sangat penting
menentukan kualitas anak di masa depan. Perkembangan intelektual anak
usia 4 tahun telah mencapai 50%, pada usia 8 tahun mencapai 80% dan pada
saat mencapai sekitar 18 tahun perkembangan telah mencapai 100%.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa informasi awal yang diterima anak
akan cenderung permanen dan menentukan perilaku anak pada masa
berikutnya. Oleh karenanya anak perlu rangsangan psikososial dan
pendidikan.<br />
Bagi anak, pendidikan yang tepat pada usia dini akan menjadi pondasi
keberhasilannya pada masa yang akan datang. Pendidikan agama tidak
pelak lagi menjadi suatu kebutuhan bagi anak usia dini untuk membentuk
kepribadian Islam. Secerdas apapun seorang anak, tanpa memiliki
pendidikan agama sebagai landasan hidupnya, maka hidupnya di dunia tidak
ada nilainya. Rasulullah saw bersabda :<br />
“<em>Orang yang cerdas adalah orang yang mampu menundukkan hawa
nafsunya serta biasa beramal untuk bekal kehidupan setelah mati.
Sebaliknya, orang yang lemah adalah orang yang memperturu</em><em>tkan hawa nafsunya, sementara dia berangan-angan kepada Allah”</em> (HR. At tirmidzi, Ahmad, Ibn Majah, dan al-Hakim).<br />
Dengan demikian pendidikan agama adalah kerangka yang kita gunakan
dalam membentuk anak usia dini. Ilmu-ilmu lain seperti matematika,
membaca, kesenian, sains dan sebagainya adalah pelengkap, yang memberi
warna dan penampakan luar bagi kerangka tersebut.<br />
Yang terpenting bagi orangtua adalah mengubah paradigma berpikir
tentang anak. Selama ini orangtua berpandangan bahwa anak adalah asset,
tempat orangtua bergantung nanti saat tua telah datang. Paradigma
semacam ini menempatkan anak dalam rangka kebutuhan orangtuanya. Anak
diarahkan untuk bisa bekerja, mencari uang untuk menghidupi orangtua
kelak.<br />
Ada pula paradigma yang lahir dari ide kapitalis-liberalis. Bahwa
anak adalah individu yang unik dan berbeda. Maka anak diberi hak untuk
bebas dalam menentukan pilihan, bebas untuk berkembang menjadi apapun
yang ia inginkan. Bahkan sampai dikeluarkan konvensi hak anak yang
mencakup juga hak anak untuk memeluk agama berbeda dari orangtuanya.<br />
Paradigma yang seharusnya kita bangun adalah setiap anak memiliki hak
untuk masuk surge kelak. Orangtua harus memastikan agar anak
memperoleh haknya tersebut. Dengan demikian, orangtua mendidik anak
untuk menjadikan hidupnya sebagai ladang amal. Bila anak menyimpang,
orangtua wajib untuk meluruskan anak, sekalipun untuk meluruskan
tersebut orangtua harus melakukan pemaksaan.<br />
Paradigma semacam ini akan membuat orangtua berupaya mendidik anak
dengan sebaik-baiknya. Orangtua dengan cermat akan mengidentifikasi
hal-hal apa yang bisa mengantarkan anak untuk meraih keridhaan Tuhannya
dan apa saja yang bisa menghalanginya. Ia akan merumuskan
target-target yang harus dicapai dalam mendidik anak, bukan semata
mengikuti keadaan dan keinginan anak, atau seperti mengikuti air
mengalir saja. Ia memilih apa yang bisa membahagiakan anak di akherat
sekalipun pahit, bukan apa yang membahagiakan anak di dunia tapi
mencelakakan akheratnya.<br />
Untuk menguasai metode pendidikan anak yang paling tepat, kita
terlebih dahulu harus mengenali potensi, karakter dan tahapan
perkembangan anak dan menetapkan target-target yang jelas.<br />
Mendidik anak usia dini pada dasarnya adalah mempersiapkan mereka
untuk mampu menerima beban taklif hukum syara’ pada saat mereka mencapai
usia baligh. Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu kita
perhatikan, antara lain :<br />
<ul>
<li> Mempersiapkan indera, otak, fisik, emosi, dan seluruh potensi hidup
anak sehingga pada tahapan selanjutnya (usia pra baligh dan baligh)
telah terlatih dan dapat melakukan aktivitas berpikir dan bersikap
berdasarkan Islam</li>
<li> Melakukan stimulasi (rangsangan-rangsangan) yang tepat sesuai
dengan tahap pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini (0-6 tahun)</li>
<li> Tidak memberi sanksi dan pembebanan yang lebih dari kemampuan pada anak usia dini</li>
<li> Belajar dilakukan sambil bermain tidak dengan pemaksaan</li>
<li> Tidak memperlakukan mereka seperti orang dewasa yang telah sempurna
akalnya hingga bisa mengendalikan diri dalam pemenuhan kebutuhan
jasmani dan naluri</li>
</ul>
<strong>Potensi Anak Usia Dini</strong><br />
Potensi yang dimiliki anak adalah sama dengan orang dewasa yakni
akal, naluri dan kebutuhan fisik. Akal adalah proses berpikir pada
manusia. Proses berpikir terjadi ketika indera menangkap fakta,
kemudian mengirimnya ke otak yang menghubungkan fakta dengan informasi
yang telah ada sebelumnya untuk mendapatkan suatu kesimpulan.<br />
<a href="http://blog.sunan-ampel.ac.id/faizahrosyidah/files/2011/07/Photo0555.jpg"><img alt="" class="alignleft size-thumbnail wp-image-195" height="150" src="http://blog.sunan-ampel.ac.id/faizahrosyidah/files/2011/07/Photo0555-150x150.jpg" width="150" /></a>Untuk
mengasah kemampuan berpikir anak, orangtua harus memberikan stimulasi
pada komponen-komponen dalam aktivitas berpikirnya. Fakta yang dapat
dicerap indera anak diperbanyak, misalnya dengan mengajak anak
berjalan-jalan dan mengenalkan anak pada alam dan lingkungan di
sekitarnya. Merangsang fungsi indera, seperti menyediakan berbagai
mainan dengan berbagai warna, bentuk dan tekstur, memperdengarkan
berbagai bunyi-bunyian, mengenalkan beraneka rasa dan seterusnya.
Orangtua mengoptimalkan pertumbuhan otak anak dengan memberikan makanan
bergizi dan menciptakan suasana penuh kasih sayang. Orangtua
memberikan informasi-informasi yang sesuai dengan tahap perkembangan
anak seperti mengenalkan nama-nama benda, memperkaya kosa katanya,
membacakan cerita, mengenalkan anak pada Allah dan rasul, dan
sebagainya.<br />
Naluri memiliki tiga penampakan, yakni naluri mempertahankan diri
(gharizah baqa’), naluri melangsungkan keturunan (gharizah nau’) dan
naluri mensucikan sesuatu (gharizah tadayyun). Ketiga naluri ini juga
perlu mendapatkan stimulasi sedari dini.<br />
Anak kita ajarkan untuk mengontrol emosinya, menyampaikan pendapat
secara terbuka dengan cara yang ma’ruf dan memupuk rasa percaya dirinya
dalam naluri baqa’. Untuk naluri nau’, anak kita ajarkan perbedaan
laki-laki dan perempuan, mengungkapkan kasih sayang kepada keluarga, dan
bersilaturahim. Sedang untuk mengasah naluri tadayyunnya, kita ajak
anak untuk mengenal Pencipta melalui alam semesta, menanamkan kekaguman
atas keagungan-Nya dan mulai mengajak anak melakukan ibadah.<br />
Untuk potensi yang terkait dengan kebutuhan fisik, maka yang perlu
kita perhatikan adalah melatih kemampuan fisik anak, baik motorik kasar
seperti berlari, melompat, merayap, berenang, dan sebagainya; juga
motorik halus seperti menggunting, menggambar, menarik garis, menempel,
dan sebagainya. Selain itu, dalam pemenuhan kebutuhan fisiknya anak
mulai kita kenalkan dengan konsep halal haram, sehingga nantinya ia
memiliki standar dalam memenuhi kebutuhan fisiknya.<br />
<strong>Karakteristik Anak Usia Dini </strong><br />
<strong>USIA 0-2 TAHUN</strong><br />
<ul type="square">
<li>Anak berinteraksi secara fisik dan belajar dengan lingkungannya melalui panca indera (mencerap fakta dan informasi).</li>
<li>Pada awalnya perbuatan yang dilakukan hasil dari refleksi murni;
lalu menjadikan dirinya sebagai obyek yang berhubungan dengan
obyek-obyek lainnya (memperhatikan sesuatu yang menarik
perhatiannya dan berusaha memintanya)</li>
<li>Anak belum dapat membedakan antara dirinya dengan lingkungan, karena
itu ia menerima segala informasi yang datang dari luar dirinya,
memiliki ketergantungan yang tinggi pada orang lain, dan pasrah terhadap
segala perlakuan yang diberikan kepadanya, baik yang sesuai dengan
perkembangan dirinya maupun tidak sesuai dengan perkembangan dirinya.</li>
<li>Informasi yang masuk akan diterima anak dengan bentuk global (tidak
memperhatikan bagian-bagian), langsung (diterima apa adanya dan
langsung mengikutinya) , pasif (belum memberi tanggapan yang berarti),
dan spontanitas (belum ada kontrol perilaku atau bahasa).</li>
<li>Cara berkomunikasi anak usia 0-1 tahun adalah melalui
tangisan/jeritan; ocehan atau celoteh; isyarat serta ekspresi emosional,
sedangkan pada usia 1-2 tahun anak mulai mengeluarkan bunyi (satu
kata) yang mengandung arti yang berbeda-beda (sebagai satu kalimat
penuh); menyebutkan dua kata dengan maksud yang lebih jelas (mampu
mengatur kembali kata-kata dalam bahasanya).</li>
<li>Kemampuan berbahasa anak usia ini diperoleh melalui proses Imitasi (menirukan), pengulangan dan merangkai kata-kata.</li>
<li>Sedangkan cara bersosialisasi adalah dengan mengenal orang-orang
yang biasa berada disekitarnya , mengajak berkomunikasi dan menjadikan
mereka sebagai pemenuh kebutuhannya. Anak juga belum mudah beradaptasi
dengan orang-orang/tempat-tempat yang baru dikenalnya. Dalam bermain,
anak bermain sejajar, yaitu bermain sendiri-sendiri tidak ada kontak
satu sama lain (bila ada kontak, maka yang terjadi perebutan dan
penguasaan mainan).</li>
</ul>
Pada usia 0-2 tahun ini, anak diajarkan berbagai ketrampilan untuk
hidup mandiri, seperti mengenakan pakaian, makan, minum, dsb. Periode
ini juga periode perkembangan fisik yang pesat, sehingga anak perlu
dirangsang untuk mengembangkan fisik dan motoriknya. Begitu juga dalam
perkembangan bicara, anak perlu dirangsang dengan banyak mengajaknya
berbicara, mengenalkan berbagai nama benda dan kosa kata baru, serta
membacakan buku cerita anak yang sederhana.<br />
Yang paling penting, anak disuasanakan dengan suasana islami untuk
menumbuhkan minat dan kecenderungannya terhadap agama. Misalnya
memperdengarkan ayat-ayat Al Qur’an, melibatkan anak dalam shalat,
mengajarkan lagu anak-anak Islam, mengajarkan anak mengucap lafazh Allah
dan Muhammad, membaca doa-doa harian, dan membiasakan anak perempuan
memakai kerudung.<br />
<strong>USIA 2-4 TAHUN</strong><br />
§ Latihan proses berpikir anak dilakukan dengan cara:<br />
<ol type="1">
<li>Pengalaman (segala sesuatu yang dialami dan dirasakan sebagai
suatu pengalaman yang menyenangkan atau tidak menyenangkan)</li>
<li>Pengulangan (mengulang-ulang suatu perbuatan untuk mencapai kepuasan dan kenikmatan atas perbuatan tersebut</li>
<li>Peniruan (imitasi):Mengikuti secara persis apa yang dilihat
(perbuatan/perlaku) dan yang didengarnya (ucapan) orang
disekitarnya</li>
<li>Perhatian (Memperhatikan segala sesuatu yang baru dan yang kontras terhadap apa yang dilihat dan didengarnya)</li>
</ol>
§ Eksploratif secara individu (menjelajah segala sesuatu yang
menjadi perhatiannya termasuk dalam bentuk eksplorasi
penolakan/pembangkangan)<br />
§ Berpikir statis (tidak dapat berpikir dibalik), telah dapat mengatur secara serial<br />
§ Sudah dapat membedakan dan mengklasifikasi bentuk dan warna<br />
§ Sudah dapat berpikir secara simbolik (menyesuaikan diri dengan
pola pikir orang lain dengan cara meniru gerakan dan ucapan orang lain)<br />
§ Belum mampu berpikir secara logis dan abstrak masih bersifat egosentris (berpikir terhadap dirinya sendiri)<br />
§ Cara Berkomunikasi pada usia ini adalah menggunakan bahasa
untuk mendapatkan apa yang diinginkannya (sudah mengerti hubungan sebab
akibat) dan anak sudah bisa memberi umpan balik dalam berkomunikasi<br />
§ Dalam hal bersosialisasi, anak sudah mulai melepaskan dirinya
terhadap ketergantungan dengan orang lain. Ia sudah bisa bermain
bersama dengan caranya sendiri-sendiri dan mulai bermain bersama dengan
melibatkan dirinya<br />
§ Disiplin sikap mulai dilatih tanpa harus memaksanya untuk
melakukan dengan benar, begitu juga dengan disiplin waktu, karena anak
belum bisa menerapkan disiplin waktu .<br />
Selain terus mengajarkan apa yang harus diajarkan di tahap
sebelumnya, anak usia ini sudah dapat diberikan stimulasi yang lebih
luas. Untuk merangsang proses berpikirnya, anak diberikan kesempatan
mengeksplorasi lingkungannya untuk mendapat pengalaman
sebanyak-banyaknya dalam hidup. Misalnya dengan mengajak anak
berjalan-jalan ke tempat-tempat yang berbeda, mengamati alam lingkungan
dan melakukan berbagai aktivitas. Ini adalah kesempatan yang baik
untuk mengenalkan keberadaan Pencipta pada anak melalui pengamatan
terhadap ciptaan-Nya.<br />
Dalam memberikan informasi untuk merangsang proses berpikirnya,
orangtua hendaknya tidak bosan untuk mengulang-ulangnya. Hal ini adalah
bagian dari tahapan berpikirnya. Maka buang jauh prasangka kita bahwa
anak “bandel” karena terus melakukan apa yang kita larang atau
melanggar apa yang kita perintahkan.<br />
Karena masa ini adalah masa imitasi atau peniruan, kita perlu
memberikan contoh keteladanan yang baik untuk anak. Mengajaknya untuk
ikut shalat, mengaji, dan melibatkannya dalam aktivitas dakwah kita
adalah hal yang harus kita lakukan untuk membentuk kebiasaan dan
karakter anak. Begitu pula memberikan keteladanan dalam berkata yang
baik, berbuat baik, serta mengasah perasaan peduli dengan orang lain.<br />
Untuk memunculkan jiwa kepemimpinannya, beri kesempatan pada anak
untuk membuat keputusan, menghargai pendapat-pendapatnya, dan merangsang
keberaniannya untuk tampil di hadapan orang lain.<br />
Pada usia ini, anak dapat mulai diajak untuk menghafal surat-surat
pendek. Sambil bermain, ibu dapat memperdengarkan surat-surat pendek
berulang-ulang. Anak akan secara otomatis merekam, sehingga mudah
baginya untuk hafal lebih cepat. Ditunjang dengan sifat imitasinya,
yaitu meniru, maka sekalipun anak belum mampu melafazhkan dengan tepat,
namun ia telah memiliki dasar untuk hafalannya. Begitu pula membacakan
doa-doa rutin harian akan mempercepat anak untuk hafal dan menjadi
kebiasaannya.<br />
Hadist-hadist pendek juga sudah dapat mulai diajarkan. Ketika
menegur anak, atau mengajarkan sesuatu, bacakan hadistnya. Misalnya
saat anak bertengkar, kita dapat menyampaikan:”Kata nabi kita, <em>al muslimu akhul muslim</em>,
sesama muslim itu bersaudara.” Membacakan hadist akan membangun
ketaatan anak pada Rasulullah saw, dan memudahkan anak menerima beliau
sebagai teladan. Anak juga akan terbiasa untuk terikat dengan dalil
pada saat melakukan sesuatu.<br />
<strong>USIA 4-6 TAHUN</strong><br />
<ul>
<li> Masa keingintahuan (mulai berpikir dengan 4W+1H). Anak menjadi
banyak bertanya tentang segala apa yang dilihat dan menjadi
perhatiannya. Anak menjelajah untuk mengetahui bagaimana terjadinya
benda atau sesuatu itu, dan bagaimana ia dapat masuk atau menjadi bagian
dari lingkungan tersebut. Anak juga memiliki kreativitas yang tinggi,
suka membongkar pasang mainan dan mengubah bentuk yang sudah jadi atau
mainan bongkar pasang</li>
<li> Proses terbentuknya kemampuan berpikir, meliputi poin-poin sebagai berikut :</li>
</ul>
<ol type="1">
<li>Pengalaman disimpan sebagai suatu pelajaran dan menjadi
pemahaman bila diberi stimulus yang berhubungan dengan pengalaman
tersebut</li>
<li>Mengeluarkan informasi yang diperoleh dikeluarkan dalam bentuk pemahaman (bukan sekedar pengulangan kata)</li>
<li>Pemahaman yang diperoleh belum mampu untuk direalisasikan, sebatas memahami sesuatu dan menanggapi atas pemahamannya</li>
<li>Belum mampu menjabarkan, menguraikan dan menjelaskan secara rinci terhadap pemahaman tersebut</li>
</ol>
<ul>
<li> Perkembangan sosialisasi : masa ini adalah masa bermain dan
berkelompok. Anak , banyak menghabiskan waktu dengan bermain secara
bersama-sama dengan teman sebayanya (bermain sosial). Anak sudah dapat
membedakan antara benda miliknya dengan miliknya orang lain; sudah dapat
berhubungan dengan orang lain dan akan mencari teman sebaya untuk
menjadi anggota kelompoknya.<br />
Anak sudah mampu membedakan antara dirinya dengan orang lain dan mampu
mengerti apa yang dilakukan orang lain untuk dirinya. Namun di sisi
lain anak belum mampu memposisikan dirinya pada tempat orang lain
(empati).</li>
</ul>
<ul>
<li> Cara berkomunikasi:</li>
</ul>
<ol>
<li>Sudah mampu secara aktif mengambil peran dalam komunikasi dengan keluarga dan teman-teman sebayanya</li>
<li>Sudah mulai menunjukkan sikap suka protes dan tidak mau kalah dalam berbicara</li>
<li>Sudah mulai menggunakan kata-kata untuk mempertahankan pendapatnya</li>
</ol>
<ul>
<li> Masa negativisme, anak sering melakukan sesuatu yang bertentangan</li>
<li> Berusaha menunjukkan perhatiannya dengan melakukan berbagai aktivitas untuk dapat perhatian orang lain</li>
<li> Mulai dilatih untuk memahami perpindahan obyek dengan bentuk yang
berbeda akan menghasilkan berat yang sama. Sudah mulai bisa menerapkan
disiplin waktu</li>
<li> Anak sudah dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang berkaitan
dengan akhlaq, ibadah (puasa,berwudlu, sholat) dan muamalah
(pinjam-meminjam dan jual-beli).</li>
</ul>
Untuk anak usia 4-6 tahun, lebih banyak lagi stimulasi yang dapat
kita berikan. Namun tetap dengan menciptakan suasana yang menyenangkan
anak tanpa melakukan pemaksaan. Rangsang rasa ingin tahu anak dengan
memberikan banyak fakta untuk dieksplor. Anak akan banyak bertanya pada
usia ini, mungkin dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk
dijawab semisal : aku darimana, Allah ada di mana, mengapa kita tidak
dapat melihat Allah, kemana perginya orang yang mati, dan sebagainya.
Berikan jawaban yang sederhana tetapi tidak membohongi anak. Bila
mungkin sertakan dalil dari Qur’an dan hadist.<br />
Untuk membentuk aqidah anak, kita teruskan mengenalkan ciptaan Allah
dan tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta. Selain itu berikan
gambaran tentang berbagai nikmat Allah untuk menanamkan kecintaan anak
pada-Nya. Misalnya bahwa Allah memberikan kita mata untuk melihat.
Minta anak untuk berjalan dengan mata tertutup. Bagaimana bila Allah
tidak memberikan mata untuk kita? Begitu pula setiap kita mendapat
nikmat Allah, maka ceritakan pada anak dan ajak ia untuk mensyukurinya.
Jelaskan bahwa Allah menyayangi kita. Dengan memahami kasih saying
Allah, anak akan belajar untuk mencintai-Nya. Di kemudian hari, akan
mudah bagi kita untuk memotivasi anak beribadah sebagai manifestasi
cintanya kepada Allah.<br />
Kenalkan juga anak dengan rukun-rukun iman lainnya. Untuk iman
kepada yang ghaib seperti malaikat dan hari akhir, berikan dalil dari al
Qur’an. Sedang keimanan terhadap al Qur’an, kita bisa jelaskan
melalui bahasa sederhana, misalnya dengan penganalogan buku panduan
penggunaan alat tertentu di rumah kita. Buku panduan penggunaan kompor
misalnya. Bila kita langsung menggunakan kompor gas yang belum pernah
kita kenal sebelumnya, maka bisa terjadi kesalahan yang berakibat
fatal. Hidup adalah hal yang lebih penting dan lebih rumit. Maka Al
Qur’an adalah <em>buku manual</em> manusia agar tidak salah langkah menggunakan hidupnya.<br />
Tanamkan kecintaan anak kepada Rasulullah saw dengan menceritakan
kisah-kisah perjuangan beliau, sifat-sifat beliau yang utama, dan
kecintaan beliau kepada umat. Jelaskan juga bahwa cara kita mencintai
beliau adalah dengan menjadikan beliau sebagai idola kita, teladan kita,
mentaati semua ajarannya dan menjauhkan diri dari apa yang beliau
larang dan tidak suka.<br />
Sedangkan iman kepada qadha dan qadar Allah dapat kita jelaskan dari
fakta yang ada di sekitar kita serta cerita-cerita, bahwa ketetapan
Allah adalah yang terbaik untuk kita, sekalipun kadang tidak sesuai
dengan keinginan kita.<br />
Ajak anak untuk menghafal surat-surat yang lebih panjang dari juz
amma. Tidak sulit insya Allah bila kita terus menerus mengulangnya.
Anak memiliki kemampuan hafalan yang kuat. Sedangkan untuk belajar
membaca Al Qur’an, bisa dimulai pada usia ini namun tidak dipaksakan.
Usia ideal bagi anak untuk belajar membaca adalah 7 tahun. Bila kita
berkeinginan memulainya sebelum itu, buatlah suasana belajar menjadi
suasana bermain yang anak merasa nyaman di dalamnya. Tanpa tekanan,
paksaan, atau unsur menyalahkan.<br />
Untuk memotivasi anak dalam berbuat di usia ini, kita gunakan arah
motivasi mendekat, yaitu motivasi yang membuat anak terdorong untuk
melakukan hal yang ia anggap menyenangkan. Bukan motivasi menjauh,
yakni menakut-nakuti anak untuk menghindar dari suatu perbuatan. Contoh
motivasi mendekat adalah kalau ia berbuat kebaikan, maka Allah akan
memberikan pahala dan akan menyayanginya. Bila Allah sayang, maka Allah
akan membalas dengan surga yang penuh dengan kenikmatan. Ini akan
membuat anak merasa bahwa Allah adalah dzat yang penyayang.<br />
Sebaliknya, memberikan motivasi menjauh seperti bila ia berbuat
maksiat Allah akan menghukumnya, atau nanti akan memasukkannya ke
neraka, dapat menciptakan image di benak anak bahwa Allah itu kejam.
Dengan demikian, kenalkan anak terlebih dahulu dengan surga. Bila ia
telah tamyiz, mampu membedakan baik buruk dengan konsekuensinya, baru
kenalkan anak pada konsep dosa dan neraka.<br />
Motivasi mendekat dapat pula diberikan melalui pemberian hadiah dan
pujian. Hadiah tidak selalu dalam bentuk materi, namun bisa berupa cium
sayang, pelukan, acungan jempol dan sebagainya. Sedang untuk pujian,
selama tidak terkait dengan ibadah, pujian sah-sah saja diberikan.
Namun bila terkait dengan ibadah, seperti anak melakukan shalat, pujian
harus kita ubah, bukan dengan mengatakan “anak umi shalih”, namun
katakan “Allah pasti akan memberimu pahala yang besar,” atau “anak umi
pasti akan disayang Allah.” Ini untuk menghindarkan anak dari sifat
riya, yaitu beramal untuk mendapatkan pujian.<br />
Di usia ini anak sudah bersosialisasi dalam kelompok. Untuk mencetak
anak dengan karakter pemimpin, yang terpenting adalah menumbuhkan
rasa percaya diri pada anak. Rasa percaya diri dapat ditumbuhkan bila
kita membentuk konsep diri yang positif pada anak. Konsep diri, yaitu
cara pandang anak terhadap dirinya, bila positif, seperti aku anak
pintar, anak shaleh, aku bisa, dan sebagainya, akan membuat anak
menghargai dirinya sendiri dan menempatkan diri dalam relasi yang
setimbang dalam pergaulan kelompok.<br />
Suasana rumah yang terbiasa memberikan penghargaan kepada anak,
memberikan kesempatan pada anak untuk menyampaikan pendapat dan membuat
keputusan, memberikan kepercayaan pada anak untuk mengerjakan
tugas-tugas yang mampu dikerjakan anak, serta menganggap anak memiliki
posisi yang penting dalam keluarga, akan membentuk sikap kepemimpinan
pada anak. Sikap ini tinggal dipupuk terus agar kelak lahir seorang
pemimpin besar.<br />
<strong>Target Pendidikan untuk Anak Usia Dini</strong><br />
Kita perlu membuat target dalam mendidik anak agar kita memiliki arah
yang jelas seperti apa kita mendidik mereka. Target akan membuat
langkah kita lebih fokus. Target sebaiknya kita buat dalam
parameter-parameter yang terukur, bukan dalam bentuk global seperti
menjadikan anak kita anak yang shaleh. Bagaimana kriteria shaleh untuk
anak usia dini? Perlu kita jabarkan lagi.<br />
Target yang harus kita capai dalam pendidikan anak usia dini adalah sebagai berikut:<br />
<ol>
<li>Anak telah mengenal Allah dan rasul-Nya serta rukun iman yang lain</li>
<li>Anak hafal juz Amma</li>
<li>Anak dapat mengerjakan sholat dengan sempurna (gerakan dan bacaannya)</li>
<li>Anak hafal hadits dan do’a sehari-hari.</li>
<li>Anak mengenal konsep pahala dan sorga, yang tampak dalam aktifitas
sehari-hari, misalnya : gemar beribadah, gemar berbagi (memberi
kepada orang lain ), gemar menolong orang lain dan senang melindungi
yang lemah, mau mengalah (mendahulukan kepentingan orang lain), sabar
(menunggu giliran, menyelesaikan pekerjaanya)</li>
<li>Anak memiliki kemampuan untuk bekerjasama dalam kelompok</li>
<li>Anak memiliki kepercayaan diri dan jiwa kepemimpinan yang kuat</li>
<li>Untuk anak perempuan, telah terbiasa menutup aurat saat bepergian keluar rumah</li>
</ol>
Dengan adanya target-target ini, kita sebagai orangtua akan lebih
mudah untuk mengevaluasi kemampuan anak di setiap tahapan umurnya.<br />
Inilah beberapa prinsip dalam mendidik anak di usia dini. Ibu, yang
merupakan pelaku utama dalam proses pendidikan ini, harus selalu
belajar dan mengembangkan kreativitas dalam memberikan pendidikan yang
terbaik untuk anak. Sekalipun sekolah-sekolah untuk anak usia dini
telah banyak, termasuk yang bernafaskan Islam, tetapi tetap peran
orangtua, terutama ibu tidak tergantikan.<br />
Dari orangtualah anak mendapatkan pembiasaan, keteladanan, kasih
sayang dan pengertian. Maka orangtua juga perlu ikut membenahi diri,
mendidik diri sehingga mampu mendidik anaknya. Dengan cara inilah maka
kita dapat menunaikan amanah yang diberikan Allah dan siap
mempertanggungjawabkannya kelak di akhirat.<br />
<br />
<br />
<br />
sumber data : <a href="http://blog.sunan-ampel.ac.id/faizahrosyidah/tag/karakteristik-anak-usia-dini/">http://blog.sunan-ampel.ac.id/faizahrosyidah/tag/karakteristik-anak-usia-dini/ </a><br />Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/15620046026184737759noreply@blogger.com0